Total Tayangan Halaman

Sabtu, 17 Maret 2018

Museum Multatuli, Rangkasbitung

“Setengah-setengah tidak akan menghasilkan apa-apa. Setengah itu tidak baik. Setengah benar sama saja dengan tidak benar”.
- Max haveelar


Kalimat di atas adalah pemandangan pertama yang akan kita lihat begitu memasuki pekarangan museum ini. Selain itu, di depannya ada pula dua buah patung berwarna coklat berupa seorang laki-laki memakai caping berdiri di sebalah kanan dan seorang perempuan berkerudung sedang duduk di atas bangku. Mereka berdua adalah Saidjah dan Adinda. Dua tokoh yang diceritakan dalam buku karangan Multatuli, yaitu Max Haveelar.
Dalam tulisan ini saya akan me-review perjalanan saya berkunjung ke museum yang baru dibangun dimana di dalamnya merupakan refleksi dari buku Max Haveelar, Museum Multatuli. Buku Max Haveelar yang ditulis oleh Multatuli merupakan sebuah karya besar pada dekade 80an yang di dalamnya menceritakan sebuah penindasan yang dilakukan Belanda di Kota Rangkasbitung.
Museum yang terletak di depan Alun-Alun Kota Rangkasbitung ini terdiri dari beberapa ruangan yang mempunyai desain arsitektur minimalis moderen. Dimulai dari ruangan pertama yang memuat wajah dari sang penulis yakni Multatuli atau Douwes Dekker yang di sampingnya terdapat kata-kata mutiara dalam bukunya. Kemudian ada pula sebuah diorama yang diberi kaca yang menggambarkan letak museum serta perpustakaan Saidjah Adinda persis di sebalah museum.


Berbelok ke kiri dari ruangan depan, kita akan diperlihatkan oleh peta visual besar yang menceritakan bagaimana alur perdagangan rempah di zaman kolonial. Selain itu diperlihatkan pula cerita terkait perjuangan dan perlawanan beberapa daerah melawan penindasan Belanda demi menguasai perdagangan rempah di Nusantara. Menariknya, di sini ada suguhan berupa rempah-rempah asli dan replika yang diletakkan di sebuah tong dan lemari kaca, sehingga kita dapat melihat bentuk dari rempah-rempah yang bahkan sudah jarang kita temui dalam kehidupan sehari-hari.


Di ruangan lain dijelaskan secara detail bagaimana struktural pemerintahan pada zaman Belanda. Mengacu pada buku Max Haveelar kita akan mengetahui dimana letak jabatan yang diemban seorang Max Haveelar pada masanya yaitu sebagai Asisten Residen Lebak. Tidak sampai disitu, di ruangan selanjutnya pun terdapat kumpulan versi berbeda dari buku Max Haveelar yang sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa mulai dari cetakan awal hingga sebelum cetakan terakhir seperti yang saya punya.


Museum ini sebenarnya tidak hanya menginterpretasikan buku Max Haveelar secara visual, tapi juga menjelaskan bagaimana keadaan dan perjalanan perjuangan bangsa Indonesia saat penjajahan Belanda. Disajikan secara menarik dengan warna-warni mencolok, cerita yang singkat dan mudah dipahami serta beberapa alat peraga visual dan audio yang disediakan di dalam museum. Sehingga pengunjung dapat menikmati perjalanan sejarah di museum dengan cara yang lebih kekinian dan tidak membosankan.



Harapan saya pribadi, semoga museum ini dapat terus menjadi media pembelajaran yang menarik tidak hanya sebatas wisata sejarah saja. Selain itu juga museum ini dapat menjadi pengingat dan kebanggaan bagi masyarakat Kota Rangkasbitung akan cerita kotanya terdahulu serta perjuangan rakyat di Kota Rangkasbitung dalam menentang penindasan yang dilakukan oleh Belanda, karena itulah yang menjadi landasan dibangunnya museum ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar