Total Tayangan Halaman

Selasa, 15 Mei 2018

Pengabdian di Timur Indonesia (2)

Sampai di Tempat Tujuan


Paginya, pukul 09.00 WIT kapal akhirnya merapat di Pelabuhan Kota Tual. Ketika sampai kami sudah disambut oleh beberapa orang dari dinas Kota Tual yang sempat kami hubungi selama di Jakarta. Setelah menurunkan barang bawaan dari kapal, kami berfoto sebentar dan segera melanjutkan perjalanan menggunakan mobil yang telah disiapkan oleh dinas menuju tempat tujuan kami yaitu Desa Lebetawi.
Jarak yang ditempuh dari pelabuhan hingga sampai di desa kurang lebih satu jam. Melewati beberapa desa diantaranya Desa Langgur, Desa Mangon dan Desa Dullah. Desa Lebetawi sendiri adalah desa kecil yang dipimpin oleh satu Kepala Desa yang menaungi empat Rukun Tetangga atau RT.
Sepanjang perjalanan saya tak henti-hentinya mengucap syukur bahkan terharu, karena pemandangan laut yang indah. Air lautnya sangat bening dan terlihat dengan jelas pemisahan warna atau gradasi dari warna hijau muda, hijau tua dan biru tua. Tak hanya saya, teman-teman yang lainpun merasakan hal yang sama dengan saling berbincang mengenai keindahan lautnya yang bahkan tidak kami temui di Jakarta.


“Sebentar lagi kita sampai di Desa Lebetawi.” seru salah seorang pegawai dinas. Tak lama kemudian terlihat sebuah gapura serta tulisan yang terbuat dari semen yang bertuliskan “Desa Lebetawi”. Di sampingnya sudah berkumpul warga yang rupanya sudah siap menyambut kami, dilihat dari pakaian dan atribut yang dikenakan oleh sekelompok anak laki-laki dan perempuan.
Benar saja, begitu kami turun dari mobil mulailah pertunjukkan tarian adat yang dibawakan oleh kelompok anak laki-laki. Mereka menari tarian panah namanya. Dengan semangat dan lincah mereka menari. Kemudian, setelah tarian panah dilanjut oleh tarian adat khas Desa Lebetawi yang dipertunjukkan oleh kelompok anak perempuan diiringi tabuhan rebana ibu-ibu.


Tak cukup sampai disitu, setelah tari-tarian adat kami diberi kalungan bunga oleh pejabat desa setempat. Sungguh rasanya seperti tamu kehormatan. Padahal kami belum melakukan apa-apa untuk desa ini. Namun, mereka sudah begitu baik dan hangat menyambut kedatangan kami. Hal ini pulalah yang membuat kami semakin bersemangat untuk menjalankan program-program kami kedepannya.
Setelah penyambutan tersebut, kami diajak makan ke rumah Kepala Desa Lebetawi, Gawi Rengur, S.Pd. ditemani oleh anak sulung dan istrinya kami diberi wejangan dan berbincang terkait keadaan desa, kebiasaan warga serta beberapa hal lain yang nantinya akan menjadi pertimbangan dan penunjang program kami selama di Desa Lebetawi.


Dalam perbincangan ini beliau juga menyatakan kesediaannya untuk ikut mensukseskan program kami dan menyambut baik apa-apa saja yang akan kami lakukan. Selain itu beliau pun menyanggupi untuk menyediakan makanan bagi kami selama di desa. Hal ini tentu saja membuat kami merasa tidak enak karena akan merepotkan. Namun, beliau menegaskan bahwa itu merupakan kewajiban beliau untuk menyambut tamu. Pada akhirnya kami makan di tempat beliau hanya dua minggu dan sisanya seminggu terakhir kami menyiapkan semuanya sendiri.
Selesai dari rumah Kepala Desa kami diantar menuju tempat atau tempat peristirahatan kami selama di desa. Kami tersebar di empat rumah berbeda dengan rincian tiga rumah diisi oleh perempuan yang masing-masing rumah akan dihuni dua orang dan sisa satu rumah akan di khususkan untuk para laki-laki sekaligus menjadi basecamp.
Saya bersama teman saya Ika Wahyuni tinggal serumah. Rumah yang kami tempati merupakan rumah keluarga keturunan Bugis yang terdiri dari seorang bapak (saya lupa namanya), seorang mamah piara (sebutan disana bagi mamah angkat selama KKN, saya juga lupa namanya), seorang kakak perempuan yang bekerja sebagai bidan di sebuah Rumah Sakit (biasa saya panggil Kak Ayu) dan dua orang anak laki-laki (Amin dan Rudi).


Saya dan Ika ditempatkan di kamar Kak Ayu. Alhamdulillah rumahnya begitu nyaman apalagi ditambah dengan keadaan keluarga yang sangat baik dan ramah sehingga saya langsung merasa nyaman dan seperti di rumah sendiri.


Keesokan paginya, saya dan Ika sudah disuguhi oleh camilan berupa pisang goreng yang digoreng menggunakan tepung singkong, biasa disebut kasbi dan segelas teh manis hangat. Rupanya kebiasaan warga disini adalah mereka harus sarapan sebelum memulai hari. Minimal dengan camilan dan minum teh hangat.
Selesai sarapan dan berbincang sebentar dengan mamah, kami segera berkumpul di basecamp untuk rapat mengenai pembagian jobdesk. Hasil rapat adalah kami terbagi menjadi dua yaitu ada yang bertugas untuk sosialisasi keliling rumah warga dan satu lagi pergi sosialisasi ke rumah pejabat desa setempat. Disini kami menegaskan bahwa tidak boleh ada yang pulang ke basecamp sebelum waktu shalat ashar tiba.
Saya mendapat tugas untuk berkeliling sosialisasi ke rumah warga di sekitaran RT 03. Tak sendiri, saya ditemani oleh Amimatul Iklilah yang akrab disapa Ami dan Muhammad Daniel Halim Badran yang biasa saya panggil Bang Daniel. Nantinya Bang Daniel ini akan mendapat panggilan sendiri dari warga desa yaitu Deidan yang dalam bahasa Kei artinya adalah malam.
Setelah bertanya ke warga mana saja wilayah yang masuk ke dalam RT 03 maka kami langsung menuju rumah terdekat yang dapat kami jangkau yaitu rumah Ibu Ani (saya sedikit lupa namanya). Ibu ini merupakan seorang janda yang tinggal bersama adik perempuannya dan anaknya. Almarhum suaminya adalah mantan ketua RT periode sebelum RT yang sekarang.
Ketika baru sampai kami sudah disambut dengan senyum ramah. Obrolan kami pun berjalan dengan hangat mengenai kebiasaan warga dan makanan khas Desa Lebetawi yaitu sayur sirsir[1], ikan bakar, embal[2] dan colo-colo[3].
Tak hanya berhenti di satu rumah saja, setelah kurang lebih satu jam kami melanjutkan tugas sosialisasi kami ke rumah-rumah lainnya hingga waktu shalat ashar tiba.  Kami pun segera kembali ke basecamp untuk melaporkan informasi apa saja yang kami dapat selama sosialisasi yang nantinya akan kami masukan untuk kesesuaian dan pematangan program.
Alhamdulillah hasil sosialisasi ke warga kami semua mendapat respon yang sangat baik, bahkan kepala desa beserta jajarannya dan pejabat desa yang lain menyatakan senang dan bersedia untuk membantu kelancaran program-program yang akan kami jalankan selama berada disini. Selain itu pula terdapat beberapa hal yang kami tambahkan ke dalam program kami seperti terkait program 17 Agustus dan di bidang pengajaran serta pengembangan ekonomi kreatif.

Pelaksanaan Program
Setelah pematangan program kemarin, hari selanjutnya kami segera melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang sebelumnya sudah diberikan kepada kami berdasarkan hasil rapat. Minggu pertama program kami adalah sosialisasi, senam sehat, melakukan Forum Grup Discussion (FGD) bersama para pejabat desa untuk pemaparan program, mengadakan kelas inspirasi untuk anak-anak sekolah dasar, mengadakan pelatihan sablon, pengadaan tong sampah, tinjauan TPA serta audiensi ke berbagai dinas di Kota Tual. Untuk saya pribadi mendapat tugas menjadi penanggung jawab dalam kegiatan pengajaran bahasa Inggris yaitu English for Fun dan membantu kegiatan di Taman Pendidikan Al-Qur’an atau TPA.
Selain itu, saya mendapat juga tambahan untuk sosialisasi lebih jauh terkait program ke tiap ketua RT di desa. Oleh karena itu sedari pagi saya sudah berkeliling ke rumah RT 01, 02, 03 dan 04. Tiap ketua RT punya respon yang berbeda dalam menyikapi kegiatan atau program yang akan kami laksanakan. Namun, semuanya ada pada satu kesimpulan yaitu akan ikut serta membantu kami jika diperlukan.
Selesai berkeliling rumah tiap RT, saya segera melakukan tugas saya yang utama yaitu mencari informasi terkait kegiatan TPA di desa. Menurut informasi yang saya peroleh dari mamah piara, di Desa Lebetawi terdapat tiga rumah yang biasa dijadikan sebagai tempat TPA, yaitu rumah Ustadzah Fatimah Serang, Ustad Jufri dan Bapak Pasaribu. Kegiatan TPA ini berlangsung setiap pukul empat sore.
Akhirnya saya mendatangi satu persatu ketiga rumah tersebut untuk mengetahui secara lebih jelas ada berapa anak yang datang mengaji, bagaimana kegiatan TPA biasa berlangsung dan sekaligus pemberitahuan dan permintaan izin terkait program kami untuk menjadikan kegiatan TPA ini terfokus pada satu tempat dengan dipindahkan ke masjid dan diganti jamnya menjadi setelah shalat maghrib. Hal ini dikarenakan agar kegiatan TPA terpusat dan dapat kami kontrol serta bantu pengajarannya.
Untungnya mereka menerima dengan senang hati dan akan ikut hadir datang ke masjid, untuk selanjutnya kegiatan TPA ini berjalan dengan baik setiap selesai shalat maghrib. Anak-anak juga tetap antusias untuk datang mengaji. Kami pun mengatur jadwal bergilir untuk mengajar TPA setiap hari kecuali pada malam Jum’at dan malam Minggu, dikarenakan pada malam tersebut diadakan kegiatan tahlilan dan bioskop pulau (salah satu program unggulan kami).
Malamnya kami biasa mengadakan evaluasi untuk meninjau progress yang telah kami lakukan hari itu sekaligus menentukan tugas selanjutnya untuk esok hari. Minggu pertama kami diisi dengan banyak sosialisasi program dan silaturahmi ke rumah-rumah warga desa serta menjalin pertemanan dengan anak-anak juga pemuda-pemudi desa.
Banyak sekali hal-hal baru yang kami temui setiap harimya. Permasalahan yang timbul juga beragam. Ini menjadi tantangan bagi kami untuk membuktikan kekuatan eksistensi kami dan bukti pengabdian kami selama di desa selain menjalankan program-program yang sudah dibuat.
Minggu selanjutnya kami mengadakan kelas dakwah dan latihan baris berbaris untuk kegiatan 17 Agustus, ada pula kegiatan pelatihan komputer dan desain grafis. Pada minggu kedua ini difokuskan pada pengembangan program di minggu sebelumnya serta penambahan beberapa program baru.


 Saya sendiri mengadakan sosialisasi kegiatan English for Fun yang ditugaskan menjadi tanggung jawab saya. Di desa, anak-anak dan para pemuda masih sangat awam terkait bahasa Inggris. Oleh karena itu Kepala Desa sangat berharap agar program ini dimaksimalkan. Maka saya pun membuat jadwal kegiatan English for Fun setiap sore hari.
Untungnya, anak-anak merasa senang menerima hal baru. Dengan berbekal video dan permainan menarik, saya membuat anak-anak dapat mengerti dengan mudah penggunaan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari.
Minggu selanjutnya kami mengadakan audiensi terkait pengembangan wisata di Desa Lebetawi, yaitu pantai wisata yang bernama Pantai Difur. Sebenarnya ada berbagai tempat wisata pantai di Tual, tapi Desa Lebetawi mempunyai tempat wisata yang dikelola sendiri seperti Difur ini. Audiensi Difur dilakukan karena terjadi perebutan hak antara Dinas Pariwisata, pihak pengelola dan pejabat desa. Oleh karenanya, kami sebagai mahasiswa menjadi jembatan antara ketiganya dalam bidang advokasi agar tercapai suatu kesepakatan. Namun, hingga tulisan ini dibuat masalah Difur masih belum mencapai titik temu.
Program yang kami lakukan selanjutnya adalah kegiatan perayaan 17 Agustus yang menurut saya mempunyai kesan tersendiri. Perayaan 17 Agustus ini merupakan pertama kalinya diadakan secara meriah di desa. Biasanya tidak ada perayaan apa-apa. Warga hanya mengadakan upacara di kota dan di SD, itupun hanya bagi kalangan pelajar. Akan tetapi tahun ini kami membuat sejarah dengan mengadakan upacara di Desa Labetawi untuk pertama kalinya.





Alhamdulillah warga sangat senang akan hal tersebut. Selain itu kami mengadakan berbagai perlombaan dan membentuk kepanitiaan yang melibatkan para pemuda desa. Antusiasme warga dapat kami rasakan ketika mereka ramai mendaftarkan diri serta kelompoknya untuk mengikuti lomba yang diadakan.
Di minggu terakhir, kami mengevaluasi kembali program apa saja yang sudah terlaksana dengan baik. Ada beberapa pengembangan program lamjutan seperti pelatihan handcraft dan sablon yang diminati warga. Warga dan mahasiswa saling bersinergi untuk membuat sektor ekonomi kreatif di Desa Labetawi dapat berkembang. Sehingga pelatihan seperti itu diadakan tidak hanya sekali dan warga yang mengikuti pelatihan pun sangat banyak.
Minggu terakhir ini juga menjadi minggu sibuk bagi kami karena terdapat dua program besar yaitu sunatan dan pengobatan massal serta penutupan 17 Agustus. Sunatan dan pengobatan massal melibatkan dua desa, Puskesmas dan Dinas Kesehatan sehingga harus terus di follow up agar dapat berjalan dengan baik. Selain dua kegiatan itu, penutupan 17 Agustus ini juga menjadi sorotan karena akan mengundang Walikota Kota Tual sekaligus menutup ekspedisi kami di Desa Lebetawi sehingga harus memberikan kesan bagi warga.


Pada akhirnya, dengan mengucap puji syukur semua kegiatan itu dapat berlangsung dengan baik dan memuaskan. Walaupun terdapat berbagai kejadian-kejadian dan konflik kecil, tapi hal tersebut tidak menjadi penghalang dan justru menjadi bumbu penyedap.



[1] Makanan khas di Kota Tual berupa sayur daun pepaya dicampur santan
[2] Makanan khas Kota Tual berupa singkong yang diparut dan dikeringkan sarinya
[3] Sebutan untuk sambal yang berisi kecap, bawang, cabai dan tomat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar